Wajarkah kita marah?
Sering kita merasa bahwa kita benar, ya memang, kita marah karena ada alasan, alasan itulah yang menjadi pembenaran buat kita. Tapi apakah kita sudah benar? Coba simak ilustrasi berikut ini :
Tukijem marah-marah ke adiknya, juminten gara-gara beli bawang merah keliru bawang putih, Menurut anda benarkah yang dilakukan Tukijem dengan memarahi adiknya? Kalau anda menjadi Juminten pasti anda merasa benar dengan berbagai alasan,
“Biar juminten kapok tidak mengulang kesalahannya ..” atau
“Karena merasa anda sudah lapar” dll.
Nah..masalahnya adalah jika anda orang yang positif thinking atau penyabar, anda pasti akan menyalahkan Tukijem karena soal kecil seperti itu kok marah-marah.
Sedangkan jika anda tidak penyabar, pemarah atau negative thinking, pasti anda menyalahkan Juminten
Setahu saya” UMUMNYA” tidak ada seorangpun yang merasa salah dengan perbuatannya yang dianggap salah oleh orang lain, kalau tidak percaya tanyakan saja pada pelaku (tp tolong jangan tanyakan itu pada perampok atau pembunuh), bahkan seorang majikanpun menyiksa pembantunya masih juga merasa benar, alasannya kerjanya lelet, atau kerjaannya salah terus. Padahal lelet itu sebenarnya relative, salah juga sebenarnya manusiawi.
Bahkan, seorang saya pun sering tidak pernah merasa salah jika ada orang yang menganggap saya salah. Selalu saja saya memberi alasan kenapa saya marah.
“Habis gw digituin sih, jadi wajar gw marah”
“habis bikin lambat kerjaan saya sih”
“Habis gak ada sopannya sedikitpun sih”
Dan habis..habis yang lainnya.
Ah..hidup kan tidak selalu sesuai dengan kemauan kita, mbok ya sabar..itu kuncinya, kecuali teman atau sodara kita sudah keterlaluan baru kita marah….Eittt…..tunggu dulu, “KETERLALUAN” itu juga relative lho..hati-hati terjebak dengan mendefinisikan “KETERLALUAN”.
Kadang kita gampang berteori “jagan marahlah, cm digituin doang kok”,Apakah nasehati anda sudah benar? Tergantung, kalau anda subyektif anda belum tentu benar (Misal yang menjadi pelaku adalah anak anda, ya jelas anda merasa tidak sakit hati diperlakukan seperti itu oleh anak anda sendiri), tapi coba jika anda mengalaminya dengan anak tetangga, bisa jadi komentarnya lain lho. Makanya coba “tepak ngawak”kata orang banyumas, maksudnya coba di bayangin anda yg mengalami hal tersebut.
Pernah tidak anda membenci anak tetangga dan mencibirnya dengan kata-kata “Dasar anak gak pernah dididik dll”, tapi jika anak anda yang melakukannya anda tidak akan membenci dan berpikir seperti itu, biasanya anda berpikir “biasalah namanya juga anak-anak”
Hehehehheh..jadi pengin ketawa…sering banget terjadi di semua keluarga kejadian seperti itu. Subyektif dan obyektif, intinya, kuncinya “sabarr…bu…”
Trims,
Originally posted by Aryo
Tukijem marah-marah ke adiknya, juminten gara-gara beli bawang merah keliru bawang putih, Menurut anda benarkah yang dilakukan Tukijem dengan memarahi adiknya? Kalau anda menjadi Juminten pasti anda merasa benar dengan berbagai alasan,
“Biar juminten kapok tidak mengulang kesalahannya ..” atau
“Karena merasa anda sudah lapar” dll.
Nah..masalahnya adalah jika anda orang yang positif thinking atau penyabar, anda pasti akan menyalahkan Tukijem karena soal kecil seperti itu kok marah-marah.
Sedangkan jika anda tidak penyabar, pemarah atau negative thinking, pasti anda menyalahkan Juminten
Setahu saya” UMUMNYA” tidak ada seorangpun yang merasa salah dengan perbuatannya yang dianggap salah oleh orang lain, kalau tidak percaya tanyakan saja pada pelaku (tp tolong jangan tanyakan itu pada perampok atau pembunuh), bahkan seorang majikanpun menyiksa pembantunya masih juga merasa benar, alasannya kerjanya lelet, atau kerjaannya salah terus. Padahal lelet itu sebenarnya relative, salah juga sebenarnya manusiawi.
Bahkan, seorang saya pun sering tidak pernah merasa salah jika ada orang yang menganggap saya salah. Selalu saja saya memberi alasan kenapa saya marah.
“Habis gw digituin sih, jadi wajar gw marah”
“habis bikin lambat kerjaan saya sih”
“Habis gak ada sopannya sedikitpun sih”
Dan habis..habis yang lainnya.
Ah..hidup kan tidak selalu sesuai dengan kemauan kita, mbok ya sabar..itu kuncinya, kecuali teman atau sodara kita sudah keterlaluan baru kita marah….Eittt…..tunggu dulu, “KETERLALUAN” itu juga relative lho..hati-hati terjebak dengan mendefinisikan “KETERLALUAN”.
Kadang kita gampang berteori “jagan marahlah, cm digituin doang kok”,Apakah nasehati anda sudah benar? Tergantung, kalau anda subyektif anda belum tentu benar (Misal yang menjadi pelaku adalah anak anda, ya jelas anda merasa tidak sakit hati diperlakukan seperti itu oleh anak anda sendiri), tapi coba jika anda mengalaminya dengan anak tetangga, bisa jadi komentarnya lain lho. Makanya coba “tepak ngawak”kata orang banyumas, maksudnya coba di bayangin anda yg mengalami hal tersebut.
Pernah tidak anda membenci anak tetangga dan mencibirnya dengan kata-kata “Dasar anak gak pernah dididik dll”, tapi jika anak anda yang melakukannya anda tidak akan membenci dan berpikir seperti itu, biasanya anda berpikir “biasalah namanya juga anak-anak”
Hehehehheh..jadi pengin ketawa…sering banget terjadi di semua keluarga kejadian seperti itu. Subyektif dan obyektif, intinya, kuncinya “sabarr…bu…”
Trims,
Originally posted by Aryo
Seja o primeiro a comentar
Posting Komentar